Area bekas terbakar di konsesi Kallista Alam (Aceh) yang telah ditanami sawit. @Auriga Nusantara 2012

Kasus Kallista Alam: Eksisnya mafia peradilan kehutanan?


Putusan PN Meulaboh yang mengabulkan gugatan Kallista Alam justru mengalahkan putusan sebelumnya oleh MA. KY harus memeriksa kasus ini.

Jakarta, 6 Mei 2018— Hukum di Indonesia sepertinya sedang menjauh dari tujuannya: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Itulah yang terlihat dari putusan yang diterbitkan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh pada Perkara Nomor: 16/Pdt.G/2017/PN. Mbo yang diajukan PT Kallista Alam, yang pada amarnya “menganulir” putusan yang lebih tinggi.

Dinyatakan bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 651 K/PDT/2015 tanggal 28 Agustus 2018 jo Putusan MA No. 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017 perihal gugatan pembakaran hutan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT. Kallista Alam. Begitulah, menurut Putusan PN Meulaboh tersebut, Putusan MA No. 1 PK/PDT/2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam.

PT Kallista Alam memang mengajukan gugatan melalui PN Meulaboh karena berkeyakinan putusan pengadilan sebelumnya error in objecto. Padahal, segala upaya hukum telah dilaluinya sebelumnya. Objek perkara pun telah diperiksa. Dan, hakim di setiap tingkatan persidangan tersebut sama: menyatakan perusahaan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. 

Maka, ikhwal error in objecto tidak semestinya dipermasalahkan. Kalaupun ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan, adalah perlawanan terhadap eksekusi. Tapi, itu harus dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, bukan oleh tergugat perkara sebelumnya. Dengan demikian, Putusan PN Meulaboh yang diketuai Hakim Said Hasan tersebut tidak saja patut diduga telah mencederai tujuan hukum, tapi membuka ruang “kegaduhan baru” jagat hukum Indonesia. Lebih jauh, ini menjadi preseden buruk bagi penuntasan perkara perusakan lingkungan.

Ekosistem gambut Rawa Tripa, Kab. Nagan Raya, Aceh, yang terbakar dan dikonversi menjadi kebun sawit oleh PT Kallista Alam. @Auriga Nusantara 2012.

Setelah mencermati dan meneliti Putusan PN Meuaboh tersebut, Koalisi Anti Mafia Hutan menemukan setidaknya 3 (tiga) kejanggalan dan kesesatan penerapan hukum, yaitu:

  1. Ketidaksesuaian pihak. Pada amar putusan poin ke-4, berbunyi: “Menyatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap Penggugat/PT Kallista Alam.” Amar putusan tersebut dapat dimaknai bahwa Putusan No. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo tidak membatalkan titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam, karena Putusan Nomor 1 PK/PDT/2015 adalah Perkara Perbuatan Melawan Hukum antara PT Indo Agroganda Lestari (PT IAL) vs. PT Eramitra Agro Lestari (PT EMAL). Tepatnya, itu bukan perkara Kallista Alam. Kesalahan mendasar seperti ini bukan salah ketik (clerical error/typing error) semata, sebab kesalalahan tersebut sudah dimulai sejak dari gugatan;
  2. Majelis Hakim telah keliru dalam menerapkan hukum. Melalui Putusan No. 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo majelis hakim telah membebaskan segala tanggung jawab PT Kallista Alam dengan menganulir putusan Mahkamah Agung sebelumnya. Berdasarkan Pasal 195 HIR upaya perlawanan terhadap suatu putusan harus dilakukan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Putusan No. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan No. 651 K/Pdt/2015 jo. Putusan No. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.Mbo telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).  

Terhadap kasus serupa, melalui Surat Nomor: B-353/S.1.16/ Fs.1/09/2012 Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa sesuai hirarkis, putusan Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, sehingga hakim di tingkat pertama tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan ataupun menyatakan batal atas putusan Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, Putusan PN Meulaboh tersebut di atas tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima.

Mengacu pada Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, Edisi 2013, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, tersedia ruang satu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan non-executable oleh Ketua Pengadilan Negeri. Namun demikian, upaya tersebut hanya bisa dilakukan terhadap putusan yang bersifat deklaratoir dan konsititutief. Upaya tersebut juga tidak dapat dilakukan sebelum seluruh/proses eksekusi dilaksanakan. Selain itu, penetapan non-executable harus didasarkan Berita Acara yang dibuat oleh juru sita yang diperintahkan untuk melaksanakan eksekusi putusan tersebut. Artinya, penghapusan titel eksekutorial yang dilakukan oleh Majelis Hakim tidak memiliki dasar.

  1. Majelis Hakim telah keliru memahami objek perkara. Gugatan PT Kallista Alam hanya mempersoalkan sebagian lokasi yang pernah diperiksa sesuai Putusan No. 1 PK/PDT/2017 jo Putusan No. 651 K/Pdt/2015 jo Putusan No. 50/PDT/2014/PT.BNA jo Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO. Yang mana sebagian lokasi tersebut berada di luar lokasi Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Namun, dalam tuntutannya PT Kallista Alam justru meminta agar terlepas dari seluruh tanggung jawab kerugian lingkungan hidup di lokasi HGU-nya.Majelis Hakim dalam Putusan No. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo telah keliru dengan mengamini gugatan PT Kallista Alam tanpa memahami muatan putusan terdahulu. Koalisi Anti Mafia Hutan memaknai hal ini sebagai upaya pemutihan tanggung jawab PT Kallista Alam.

Lahan dalam konsesi Kallista Alam yang masih secara jelas menunjukkan bekas terbakar. @Auriga Nusantara 2012

Berdasarkan hal di atas, patut diduga Putusan PN Meulaboh bermaksud menggagalkan pelaksanaan eksekusi putusan sebelumnya, dan memperlihatkan keberpihakan terhadap perusak lingkungan. Patut dicatat bahwa bukan kali ini saja upaya penundaan PT Kalista Alam diamini oleh PN Meulaboh. Sebelumnya, PN Meulaboh juga menyetujui penundaan pelaksanaan putusan PT Kalista Alam dengan alasan adanya upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Padahal, pengajuan PK tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap—inkracht van gewijsde (Putusan Kasasi).

Memahami semua hal di atas, dan demi menegakkan kewibawaan lembaga peradilan, Koalisi Anti Mafia Hutan meminta:
  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan surat pembatalan atas putusan No. 16/Pdt- /2017/PN.Mbo dengan merujuk pada Surat Mahkamah Agung Nomor: B-353/S.1.16/Fs.1/09/2012;
  2. Meminta Mahkamah Agung RI menyatakan putusan No. 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo batal dan tidak berkekuatan hukum;
  3. Meminta Mahkamah Agung RI bersama Komisi Yudisial untuk memeriksa Majelis Hakim dalam perkara No. 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo, untuk memeriksa indikasi pelanggaran kode etik perilaku hakim;
  4. Meminta Mahkamah Agung RI mencopot dan mengganti Ketua PN Meulaboh karena terbukti telah menghambat pelaksanaan eksekusi putusan dalam perkara Putusan No. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan No. 651 K/Pdt/2015 jo. Putusan No. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan No. 12/PDT.G/2012/ PN.MBO;
  5. Meminta KLHK dan Mahkamah Agung untuk mempercepat pelaksanaan eksekusi Putusan No. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan No. 651 K/Pdt/2015 jo. Putusan No. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO, karena telah berkekuatan hukum tetap.

PERNYATAAN SELENGKAPNYA

–##–

KOALISI ANTI MAFIA HUTAN
GeRAM Aceh | HAKA Aceh | Yayasan Ekosistem Lestari | Jikalahari Riau | Walhi Kalbar | SENARAI Riau | Perkumpulan Integritas | ICEL | ICW | Pusaka | AEER | Auriga Nusantara | YLBHI | ELSAM




Catatan: 
Diperbaharui dari rilis sebelumnya: (6 Mei 2018) Berita buruk bagi lingkungan: berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?