Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Hutan Produksi, Jalan Lintas Pangkalan Bun-Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. , 2019 ©Ario Tanoto

1 Agust - 28 Sept 2019: Hotspot terbanyak di kawasan hutan


Kebakaran hebat terjadi lagi pada 2019. Regulasi baru KLHK tentang gambut berpotensi memperparah bencana.

Jakarta, 29 September 2019—Kebakaran hebat hutan dan gambut tak berakhir di 2015. Empat tahun setelahnya, setelah pemerintah menghabiskan anggaran triliunan rupiah untuk mencegah dan menggulanginya, bencana kebakaran hadir kembali.

Auriga menganalisis sebaran 19.853 titik panas (hotspot) yang terekam oleh NASA Fire Information for Resource Management System (FIRMS) pada periode 1 Agustus-28 September 2019. Data hotspot dengan tingkat kepercayaan lebih dari 80%, atau hampir bisa dipastikan sebagai api, tersebut kemudian ditampalkan (overlay) dengan peta peruntukan dan penggunaan lahan. 

Hasilnya, sebesar 85% hotspot muncul di lima provinsi langganan kebakaran, yakni yang terbesar berturut-turut di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau. Dua pertiga dari seluruh hotspot, atau 13.069 titik panas, berada di kawasan hutan. Sedangkan sisanya di Area Penggunaan Lain (APL). Ini menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi lembaga yang pantas dimintakan pertanggungjawaban atas bencana kebakaran hutan tahun lalu.

Hutan produksi mendominasi sebagai kawasan hutan dengan hotspot terbanyak, yakni 9.045 titik panas. Hampir separuh di antaranya berada di konsesi perusahaan yang mengantongi izin Hutan Tanaman Industri (1.957 hotspot), Hak Pengusahaan Hutan (1.597 hotspot), dan perkebunan (1.061 hotspot). Sisanya di hutan produksi yang tak dibebani izin (idle). Kawasan ini dikelola lansung oleh KLHK sehingga kementerian ini semestinya bertanggung jawab terhadap kebakaran yang terjadi atasnya.

Apalagi hutan lindung pun tak luput dari hotspot, yakni sebanyak 2.201 titik panas. Bahkan di kawasan konservasi, yang perlu menjadi perhatian tersendiri karena dilengkapi unit manajemen lapangan di bawah kendali KLHK, pun terdeteksi 1.463 hotspot. 

Hasil overlay sebaran hotspot dan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) menunjukkan hasil yang tak kalah tragis. Sebanyak 13.531 hotspot muncul di kawasan ini. Sebagian besar hotspot di dalam KHG, lagi-lagi, berada di kawasan hutan. Bahkan 11.558 hotspot di antaranya terekam di area prioritas restorasi gambut.

Ini memperbesar pertanyaan publik terhadap keseriusan KLHK dalam mengendalikan kebakaran hutan dan gambut di Indonesia. Terlebih, selama ini KLHK tidak transparan membuka rencana restorasi di dalam kawasan hutan. KLHK juga menutup akses publik terhadap revisi rencana/peta kerja perusahaan kehutanan di area prioritas restorasi gambut.

Fakta dalam analisis ini juga kian mengkhawatirkan lantaran KLHK baru saja menerbitkan Peraturan Menteri LHK P.10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut. Regulasi ini justru mengurangi proteksi terhadap hidrologis gambut. Sebaliknya, eksploitasi di lahan gambut seolah mendapatkan pembenaran untuk diperluas. Kondisi pemungkin (enabling condition) kebakaran lahan gambut di masa mendatang kini bertambah besar.

Menyikapi hasil analisis tersebut, Auriga merekomendasikan agar:
  1. KLHK membuat peta rawan api sebagai mengantisipasi bencana kebakaran berulang pada musim kemarau;
  2. KLHK merestrukturisasi dan mereposisi kelembagaan pengelolaan kawasan hutan sehingga memastikan staf berada di dalam kawasan hutan, bukan seperti saat ini kebanyakan di Jakarta dan ibu kota provinsi atau kabupaten/kota; 
  3. KLHK merevisi Permen LHK P.10/2019 sehingga pengelolaan dan proteksi gambut kembali berdasarkan kesatuan hidrologi;
  4. KLHK membuka akses publik terhadap restorasi gambut di HTI, terutama dokumen revisi Rencana Kerja Umum dan Rencana Kerja Tahunan perusahaan HPH/HTI. 
***
Narahubung:
Syahrul Fitra (Direktur Komunikasi AURIGA) syahrul@auriga.or.id