Cetak sawah di gambut Kalteng potensial hadirkan petaka baru

Jangan gunakan pandemi sebagai alasan mengeksploitasi gambut. Berhentilah mengulang kesalahan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar.

Lokasi eks Proyek Lahan Gambut satu juta hektar di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. @Walhi Kalteng 2019

Jakarta, 15 Juni 2020 – Beralasan mengantisipasi krisis pangan karena pandemi, pemerintah kembali mengulang lagi: cetak sawah di lahan gambut. Kembali rakyat disuguhi janji kosong pemenuhan pangan, ketika pembiaran konversi lahan, kriminalisasi petani, bahkan pembiakan konflik agraria sedemikian kasat mata.

Itulah yang kini mengintai Kalimantan Tengah, setelah pemerintah menggenjot pencetakan sawah di area bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG). Padahal, PLG inilah dulu pembuka perusakan luar biasa terhadap gambut Kalimantan Tengah, dan ini pulalah salah satu sumber kebakaran berulang tahun demi tahun di provinsi ini. Tak hirau itu, pemerintah menyatakan akan membangun food estate seluas 300.000 hektare di area ini, dan menjadikannya sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kemudian melaksanakan Rapid-KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Namun, Rapid-KLHS ini tidak transparan dan minim partisipasi publik sehingga berpotensi mengabaikan hak publik dan kualitas lingkungan hidup.

Merespon situasi ini, Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri atas 163 organisasi dan individu, meminta pemerintah untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu yang menghadirkan petaka bagi Kalimantan Tengah. Koalisi juga meminta pemerintah untuk tidak menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut. 

Koalisi menolak cetak sawah ini dan mendesak agar dihentikan, dengan pertimbangan:

Pertama, proyek ini akan menambah kerugian negara. Hal ini bisa ditengarai dengan berkaca pada PLG yang dilaksanakan berdasar Keppres 82/95 yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 1995. PLG gagal total sehingga dihentikan oleh Presiden BJ Habibie melalui Keppres 33/98. Padahal, PLG menyedot APBN setidaknya Rp 1,6 triliun. Tidak hanya gagal total menghadirkan lumbung pangan, tak sedikit wilayah ini yang berubah jadi perkebunan sawit. Padahal, PLG dibangun dengan Dana Reboisasi (DR) yang peruntukannya untuk pemulihan hutan.

Setelah PLG gagal, berbagai kebijakan nasional dikerahkan ke daerah ini demi rehabilitasinya, seperti Keppres 80/1999 yang juga mengalokasikan dana pembayaran ganti rugi kepada masyarakat terdampak dan Inpres 2/2007 yang mengalokasikan Rp 3,9 triliun untuk rehabilitasinya.  Wilayah ini juga termasuk dalam prioritas restorasi gambut pasca kebakaran hebat 2015. 

Sulit menemukan proyek food estate berskala luas, bertumpu pada pengutamaan peran korporasi, dan penggunaan massif anggaran peemerintah yang berhasil di Indonesia. Sebaliknya, tak susah menemukan food estate yang gagal dan berlumur korupsi. Khusus PLG, penyebab gagalnya terutama adalah kebijakan yang tanpa basis kajian sosio-ekologis gambut dan ketidakmampuan memahami lokalitas. Kerusakan yang diakibatkannya menjadi pemicu kebakaran rutin yang semakin memiskinkan rakyat, pun biaya penanggulangan bencana yang menguras keuangan negara.

Kedua, cetak sawah di gambut eks-PLG akan merusak alam, dan rakyat yang akan menerima akibatnya. Pembangunan food estate di lahan gambut menegaskan ketidakpedulian pemerintah terhadap ekosistem rawa gambut. Padahal, gambut merupakan ekosistem unik yang sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah, termasuk ramin (Gonystylus bancanus) dan meranti rawa (Shorea balangeran) yang merupakan jenis endemik gambut. Proyek ini juga akan meninggalkan monumen kanal primer dan sekunder yang menyebabkan kekeringan gambut sehingga menjadi sumber bencana kebakaran yang selain membahayakan keselamatan warga juga melepas emisi gas rumah kaca.

Lokasi Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Area yang terbuka dan rusak ini setiap tahun mengalami kebakaran, sehingga yang diperlukan adalah pemulihannya, bukan justru merusaknya lagi dengan cetak-sawah. @Walhi Kalteng 2019

Sejak kebakaran 1997 yang meluluhlantakkan 80% dan melepas 0,15 miliar ton karbon, setiap tahun areal ini mengalami kebakaran. Sepanjang 2015 – 2019 kebakaran melanda 465.003 hektare, atau sekitar 39% dari total 1.180.000 hektare area terbakar di Kalimantan Tengah.

Terhadap kebakaran 2015, atas gugatan warga, pengadilan melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3555/K/Pdt/ 2018 tanggal 16 Juli 2019 telah meminta pemerintah menerbitkan kebijakan yang mencegah kebakaran hutan termasuk melindungi lahan gambut sebagai kawasan lindung. Pembangunan food estate di lahan gambut ini merupakan pengingkaran Pemerintahan Jokowi terhadap kelestarian alam, termasuk perlindungan dan pemulihan lahan gambut.

Ketiga, seharusnya pemerintah mengembalikan urusan pangan kepada petani, sehingga beri petani hak atas tanah. Pasca-gagalnya PLG, seyogianya pemerintah melakukan pemulihan, termasuk akses Kelola, kepada masyarakat lokal. Namun, kenyataannya, ketimpangan penguasaan lahan dan konflik tanah justru meninggi, dipicu pemberian izin perkebunan sawit di sebagian besar eks-PLG.

Tak hanya melanggar aturan alokasi ruang, izin-izin ini juga merampas tanah masyarakat adat dan menghancurkan sistem pertanian setempat, seperti handil, tatah, tabat, dan perikanan tradisional, seperti beje. Hal ini juga menghilangkan sistem adat dan kearifan lokal lainnya, termasuk pertanian/perladangan kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini.

Situasi ini diperparah dengan penempatan transmigrasi yang tidak mempertimbangkan situasi setempat. Struktur sosial dan model kepemilikan lahan yang mempertentangkan tanah adat dengan sertifikat tanah turut memicu konflik lahan di wilayah ini.

Dengan pertimbangan-pertimbangan demikian, Koalisi menolak pembangunan food estate di lahan gambut Kalimantan Tengah, juga di wilayah lainnya di Indonesia.

Pada situasi pandemi sekarang ini, apalagi ketika kurva infeksi masih terus meninggi, pemerintah semestinya memusatkan perhatian pada upaya mengendalikan persebaran coronavirus. Pandemi yang dipicu zoonosis ini juga semestinya disikapi dengan memastikan perlindungan habitat alami tersisa dan pemulihan ekosistem yang terlanjur rusak, termasuk lahan gambut, serta menahan laju kenaikan suhu bumi.

Perubahan secara mendasar sistem pertanian sudah saatnya dilakukan demi terwujudnya kedaulatan pangan. Orientasi pada korporasi dan skala besar udah harus ditinggalkan, dan beralih kepada keragaman yang menghargai lokalitas. Reforma agraria sudah sedemikian mendesak. Saatnya sistem pertanian dan pangan dikembalikan kepada petani berikut pemberdayaannya sehingga menjadi sokoguru di negara agraris ini.

LAPORAN SELENGKAPNYA

KOALISI MASYARAKAT SIPIL
Narahubung:
1.  Dimas Novian Hartono (Walhi Kalteng) +62 813-5270-4704
2.  Safrudin (Save Our Borneo) +62 811-5220-289
3.  Arie Rompas (Greenpeace ) +62 811-5200-822
4.  Aryo Nugroho (LBH Palangkaraya) +62 852-5296-0916
5.  Margaretha Winda (SP Mamut Menteng) +62 812-5311-0627